“Setiap orang di dunia ini adalah seorang tamu, dan uangnya adalah pinjaman. Tamu itu pastilah akan pergi, cepat atau lambat, dan pinjaman itu haruslah dikembalikan”..

Kamis, 11 April 2013

Penerapan Disiplin Ilmu Nahwu Dan Sharaf Sebagai Pengantar Mempelajari Bahasa Arab




Penerapan Disiplin Ilmu Nahwu dan Shorof  Sebagai Pengantar Dalam Pembelajaran Bahasa Arab
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah bahasa Indonesia semester 1
dengan dosen pengempu mata kuliah Rosita Rahma , M.Pd
Oleh
Sufiah Sulistiawati      1200713
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2013


BAB 1
Pendahuluan
1.1  Latar Belakang Masalah
Bahasa Arab merupakan bahasa Alqur’an dan bahasa komunikasi umat islam. Bahasa Arab juga merupakan salah satu bahasa yang menjadi kunci untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu lainnya. Hal itu dikarenakan pada zaman dahulu buku-buku berbagai disiplin ilmu ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Disamping itu, bahasa Arab pun merupakan salah satu bahasa yang hanya memiliki tiga unsur terpenting dalam pembelajarannya, yaitu isim, fi’il, dan harf.
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran bahasa Arab saat ini tidak hanya diajarkan di pondok pesantren saja, akan tetapi sudah dikembangkan di lembaga pendidikan formal, bahkan dijadikan mata pelajaran khusus diberbagai sekolah yang berbasis Islam seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA).
Namun meskipun demikian, ternyata tidak semua siswa dapat memahami dan menguasai materi yang telah diajarkan bahkan mereka pun belum mengenal bahsa Arab itu sendiri dan keutamaan bahasa Arab. Banyak siswa yang masih kesulitan dalam memahami Bahasa Arab, baik itu mengenai kosakata ataupun kaidah-kaidah yang berhubungan dengan penyusunan kalimat.
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah alternatif pengajaran yang mampu mengatasi permasalahan tersebut, yaitu dengan menggunakan penerapan disiplin ilmu Nahwu dan Shorof sebagai pengantar dalam mempelajari Bahasa Arab.





1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :  
      1.2.1   Bagaimanakah keutamaan Bahasa Arab ?
1.2.2  Bagaimanakah penerapan disiplin ilmu Nahwu dan Shorof dalam                     pembelajaran Bahasa Arab ?
1.3  Tujuan Penulisan
Secara umum tujuan penulisan makalah ini yaitu :
1.3.1   Menjelaskan keutamaan Bahasa Arab
      1.3.2 Menjelaskan penerapan disiplin ilmu Nahwu dan Shorof dalam    pembelajaran Bahsa Arab.

1.4  Manfaat Penulisan
Secara Umum manfaat penulisan makalah ini yaitu :
1.4.1         Menggali pengetahuan para siswa akan keutamaan Bahasa Arab
1.4.2        Memudahkan para siswa dalam mempelajari Bahasa Arab dengan menggunakan kaidah Nahwu dan Shorof.

1.5  Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu metode kepustakaan dan literatur.






BAB 2
Pembahasan
2.1   Keutamaan Bahasa Arab
Tidak dipungkiri bahwa semua bahasa di dunia ini mempunyai ciri khas dan keutamaannya masing-masing, sebagai pembeda antara satu dengan lainnya. Demikian juga halnya dengan bahasa Arab. Bagi penuturnya, bahasa Arab merupakan bahasa yang paling sistimatis dalam penyusunan kata-katanya dan paling mudah difahami.
Bahasa Arab adalah bahasa yang telah Allah pilih untuk menjelaskan agama ini. Tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa kedudukan bahasa Arab beserta semua ilmunya pada ilmu-ilmu Islam laksana lisan pada anggota tubuh manusia. Bahkan tidak berlebihan jika kita mengatakan kedudukannya laksana hati  pada tubuh manusia. Karena dia merupakan bahasa Islam yang tertinggi, yang dengannya Al-Qur`an Al-Azhim diturunkan. Allah SWT berfirman; “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur`an sebagai bacaan yang berbahasa Arab yang jelas agar kalian berfikir.” (QS. Yusuf: 2)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata dalam tafsirnya.
      Karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, yang paling jelas, yang paling luas, serta paling banyak dalam menyampaikan makna-makna yang terdapat dalam jiwa. Karena itulah kitab yang paling mulia diturunkan dengan bahasa yang paling mulia pula.
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiah Rahimahullah berkata.
     Sesungguhnya tatkala Allah menurunkan kitab-Nya dengan bahasa Arab, menjadikan Rasul-Nya sebagai penyampai al-kitab dan al-hikmah dari-Nya juga dengan lisan yang berbahasa Arab, dan Allah juga menjadikan orang-orang terlebih dahulu memeluk agama ini berbicara dengan bahasa ini, serta tidak ada jalan untuk memahami agama dan mengenalnya kecuali dengan memahami bahasa ini, maka jadilah pengetahuan tentang bahasa Arab merupakan bagian dari agama ini dan pemahaman tentangnya akan lebih mendekatkan seseorang pada penegakan syariat-syariat agama.
Ibnu Khaldun berkata, “kecakapan dalam berbahasa Arab merupakan satu kecakapan bahasa yang paling bisa mejelaskan maksud pembicaraan’’.
Selanjutnya, Ibnu Faris berpendapat sebagai berikut.
     Bahasa Arab adalah bahasa yang paling utama dan sangat luas jangkauannya. Tuhan alam semesta telah memilih rasul-Nya yang paling mulia dari gologan bangsa Arab untuk mengemban risalah penutup bagi sekalian alam adalah bukti kemulian bahasa Arab yang tidak terbantahkan.
Sedemikian utama dan luasnya jangkauan bahasa Arab, maka tidak satu pun penerjemah yang mampu melukiskan kandungan Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab. Sebagaimana penerjemahan kitab Injil dari bahasa Suryani ke bahasa Habasyiyah dan bahasa Romawi; dan juga seperti penerjemahan kitab Taurat, Zabur dan semua kitab-kitab Allah dengan menggunakan bahasa Arab. Hal itu karena keluasan majaz bahasa ‘Ajam tidak seluas bahasa Arab. Dalam al-‘Ain, hitungan suku kata bahasa Arab, baik yang tsulasi, ruba’i, dan juga khumasi-nya tercatat tidak kurang dari 12. 305.412 kata.
Lebih terperinci lagi, Imam Suyuti menjelaskan keutamaan bahasa Arab dan keluasannya dengan ciri-ciri sebagai berikut.
     1) Bahasa yang kaya metafora, 2) ta’wid, yakni satu kata bisa berfungsi untuk kedudukan kata lainnya. Seperti kedudukan amar digunakan oleh masdar, contoh: صبرا آل ياسر فإن موعدكم الجنة ; fa’il menempati kedudukan masdar, contoh: ليس لوقعتها كاذبة أي تكذيب ; maf’ul menempati kedudukan masdar, contoh: بأيكم المفتون أي الفتنة ; dan maf’ul menempati kedudukan fa’il, contoh: حجابا مستورا أي ساترا .3) memperingan pengucapan satu kata dengan membuang sabagian hurufnya, contoh: لم يك ... , dan 4) perubahan harakat dan penambahan huruf berdampak pada perubahan makna, contoh: مِفتاح و مَفتاح ; pada kata “maftah” dengan harakat fathah pada huruf “mim” bermakna tempat membuka, sedangkan jika “mim” diganti harakatnya dengan kasrah bermakna “kunci”.
Keterangan di atas hanya sekelumit tentang keluasan bahasa arab dan keutamaannya dibanding dengan bahasa lainnya di dunia.
Kenyataan ini bukan saja diakui oleh kita sebagai umat Islam, namun tidak sedikit kaum terpelajar dan pakar bahasa di kalangan non-Arab yang mengakui keunggulan bahasa Arab. (Makruf, 1998:38).
Dari penjelasan di atas, tidak heran jika banyak ulama Islam baik dari kalangan Arab dan non-Arab, juga dari kalangan non-muslim yang mencurahkan perhatian dan konsentrasi mereka untuk mengkaji keistimewaan bahasa Arab, terhitung sejak abad ke satu hijriyah hingga saat ini. Tidak sedikit hasil kajian yang dihasilkan dari tela’ah bahasa al-Qur’an ini. Dari kajian kaidah bahasa, ada ilmu Nahwu dan Sharraf; dari kajian sastra ada ilmu Balagah. Dan masih banyak kajian-kajian lainnya yang juga menghasilkan banyak disiplin ilmu.

2.2  Penerapan  Disiplin Ilmu Nahwu dan Shorof dalam Pembelaharan Bahasa Arab
2.2.1 Pengertian Ilmu Nahwu
Banyak pakar nahwu yang telah memberikan pemikirannya dalam mendefinisikan ilmu nahwu. Salah satu diantaranya ialah Ibnu Jiniy (302 H), beliau mengungkapkan definisi nahwu debagai berikut.
“ Pedoman dalam memakai bahasa Arab berupa perubahan i’rab seperti tatsniyah, jama’ takhir, taksir, idhafah, nasab, tarkib, dll, agar non arab dapat berbicara fasih dengan bahasa Arab seperti halnya orang Arab ’’.
Definisi di atas mencerminkan aspek struktural dalam bahasa Arab yang berfungsi sebagai pedoman bagi mereka yang bukan bangsa Arab dalam menggunakan bahasa Arab sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penggunaannya.
Definisi di atas relevan dengan definisi yang dikemukakan oleh Ahmad al Hasyimiyang mengatakan bahwa secara etimologi nahwu berarti: “Maksud, arah, dan ukuran’’. Secara terminologi, nahwu adalah ‘’aturan (dasar hukum) yang digunakan untuk memberi baris (syakal) akhir kata sesuai dengan jabatannya masing-masing dalam kalimat agar terhindar dari kesalahan dan kekeliruan, baik pada bacaan dan pemahaman’’.
Seiring dengan itu, Al-Jurjâni merangkum beberapa definisi tentang nahwu sebagai berikut. “(1) nahwu adalah ilmu yang mengandung sejumlah kaidah yang dapat digunakan untuk mengetahui posisi susunan kata bahasa Arab dalam kalimat seperti I’rab dan bina’. “ ‘’(2) nahwu adalah ilmu yang mengandung sejumlah ketentuan untuk mendeteksi benar tidaknya sebuah kalimat”. 
Memperhatikan beberapa defenisi di atas, dapat diketahui bahwa substansi nahwu adalah ketentuan-ketentuan atau yang biasa disebut dengan qowa’id dalam berbahasa Arab. Maka eksistensinya dalam bahasa Arab merupakan alat pengontrol untuk menghindari terjadinya kesalahan dengar, ucap, baca dan tulis dalam berbahasa Arab. Terjadinya kesalahan ucap, kesalahan baca atau kesalahan menulis, tidak hanya berkonsekuensi terhadap kesulitan mukhâtab (pendengar / orang kedua) dalam memahami pesan bahasa, tetapi juga bisa merubah makna pesan dari yang dimaksud oleh penyampai pesan.          
Sebagai contoh kalimat: “كتبتُ الرسالةَ منظمة”, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “Saya menulis surat secara sistematis.” Pesan ini bisa berubah jika kalimat di atas di baca “كتبتْ الرسالةُ منظمة” maknanya: “Si Al-Risâlah (nama orang) menulis secara sistematis.” Perubahan makna pesan itu terjadi seiring dengan perubahan harakah masing-masing kata dalam kalimat.   

Di sisi lain, walaupun nahwu dianggap sebagai cabang ilmu bahasa Arab yang terpenting karena ia memiliki fungsi yang sangat besar untuk menghindari kesalahan baik pada ucapan maupun pada tulisan- akan tetapi, bukan berarti menguasai nahwu telah merepresentasikan penguasaan terhadap bahasa Arab. Karena nahwu di samping bukan sebagai tujuan belajar bahasa, tetapi sebagai alat, nahwu juga hanya merupakan bagian dari cabang-cabang ilmu yang terdapat dalam bahasa Arab. 
Eksistensi nahwu sebagai alat pengontrol untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam berbahasa Arab dapat dipahami melalui statemen Hasan Syahâtah sebagai berikut:
ليس القواعد غاية تقصد لذاتها، ولكنها وسيلة إلى ضبط الكلام، وتصحيح الأساليب، وتقويم اللسان، ولذلك ينبغي ألا ندرس منها الا القدر الذى يعين على تحقيق هذه الغاية.
“Bukanlah gramatikal yang menjadi tujuan akhir. Akan tetapi, nahwu merupakan alat untuk membarisi kata, membaguskan struktur kalimat, dan aturan berbahasa. Oleh karena itu, seharusnya nahwu dipelajari tidak lebih dari untuk tujuan tersebut.”      

Senada dengan pernyataan diatas, Abd Al-‘Alîm Ibrâhîm juga berpendapat:
القواعد وسيلة لضبط الكلام، وصحة النطق والكتابة، وليست غاية مقصودة لذاتها، وقد أخطأ كثير من المعلمين حين غالوا بالقواعد، واهتموا بجمع شواردها، والإلمام بتفاصيلها، والإثقال بهذا كله على التلاميذ، ظنا منهم أن فى ذلك تمكينا للتلاميذ من لغتهم، وإقدارا لهم على إجادة التعبير والبيان 
“Qawaid (nahwu) adalah alat untuk memberi harkat kata, penuntun dalam berbicara dan menulis, ia bukan tujuan semata. Oleh karena itu, banyak guru yang terjebak salah, karena mereka memberikan perhatian penuh terhadap qawaid, hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa dengan memberi-kan perhatian penuh terhadap qawaid dapat memungkinkan siswa bisa berbicara dan untuk memperoleh sejumlah informasi”.

Pembahasan yang paling mendasar dalam ilmu nahwu adalah pembahasan mengenai kalam

Definisi Kalam

Kalam (الكلام ) pada dasarnya dalam penggunaan Bahasa Arab mencakup setiap sesuatu yang mengandung makna yang berfungsi dalam komunikasi. Jadi secara bahasa, kata kalam sangat sesuai dengan perluasan istilah modern dalam Linguistik sehingga termasuk tanda-tanda dan isyarat. Misalnya ketika ada seseorang berkata, “Apakah sudah kamu tuangkan air untukku?” Kemudian kamu menjawabnya dengan anggukan kepala sehingga dia mengerti jawabanmu adalah “Ya.” Maka anggukan ini termasuk sebagai kalam dari sudut bahasa secara umum. Karena itu, makna sederhana bagi Kalam adalah ungkapan.
Sedangkan dalam istilah Nahwu, Kalam adalah kalimat lengkap yang terdiri dari rangkaian kata yang memberi makna dengan menggunakan Bahasa Arab. Jadi, suatu kalimat disebut sebagai Kalam apabila terhimpun 4 syarat padanya, yaitu: (1) terdiri dari kata, (2) tersusun, (3) mengandung makna, dan (4) dalam Bahasa Arab.

1. Terdiri Dari Kata

Kata adalah sekumpulan bunyi yang terdiri dari sebagian bunyi-bunyi yang disimbolkan dalam huruf-huruf Hijaiyah dari Alif ا hingga Ya ي. Misalnya, كِتاب artinya “buku”, سعادة artinya “kebahagiaan”, نجح artinya “berhasil”. Semuanya adalah kata karena mengandung sebagian dari bunyi-bunyi Hijaiyah. Dan dengan ini, isyarat dalam contoh di atas misalnya tidak termasuk Kalam dalam istilah Nahwu.

2. Tersusun

Setiap kata pada bagian pertama merupakan kata pada bentuknya sendiri, dan tidak disebut Kalam selama tidak berbentuk dalam rangkaian kalimat sehingga bisa diketahui kedudukan setiap kata tersebut. Dan Kalam adalah kata-kata yang minimal tersusun dari dua kata atau lebih. Misalnya, َنَجَحَ الطالِب artinya “Siswa itu lulus”, dan lebih dari dua; جاء الطالب الي المدرسة artinya “Siswa itu datang ke sekolah.” Semua ini adalah Kalam karena terdiri kata yang tersusun dari dua kata atau lebih.

3. Mengandung Makna

Bukan maksudnya setiap kata harus mengandung makna, karena setiap kata memang mesti mengandung maknanya sendiri, tetapi yang dimaksud adalah rangkaian kata tersebut mengandung suatu makna yang lengkap; tidak menggantung. Misalnya, جاء الأستاذ الي المدرسة artinya “Guru itu datang ke sekolah.” Berbeda dengan إذا جاء المدرِّس artinya “Apabila pengajar itu datang,” maka ini tidak disebut Kalam karena tidak mengandung makna lengkap, tetapi menggantung, meskipun tersusun lebih dari dua kata.

4. Dalam Bahasa Arab

Setiap kata yang terdapat dalam rangkaian kalimat tersebut merupakan kata-kata dari Bahasa Arab, yaitu sekumpulan bunyi dari sebagian huruf Hijaiyah yang dipergunakan dalam Bahasa Arab untuk menunjukkan suatu kandungan atau sesuatu. Dan ini tentunya sudah sangat jelas.

Pembagian Kalam

Pada bagian yang telah lalu kita sudah mengenal Kalam yang secara sederhana adalah kalimat lengkap. Kalam dalam istilah Nahwu adalah kata-kata yang tersusun menjadi struktur kalimat; minimal terdiri dari dua kata, dan memberikan suatu makna. Maka, pembagian Kalam yang dimaksud sebenarnya adalah jenis-jenis kata yang menjadi unsur kalimat. Jenis kata yang digunakan oleh orang Arab dalam bahasa; percakapan, di buku-buku, koran-koran, surat-surat, dan semua hal tidak terlepas dari salah satu dari tiga jenis; yaitu Isim, Fi’il, dan Huruf.[1] Bentuk-bentuk kata dari setiap jenis ini sangat banyak, tetapi semuanya pasti termasuk dalam salah satu dari 3 jenis kategori utama itu.

A. Isim الاسم

Isim secara bahasa adalah nama, yaitu sebutan yang menunjukkan suatu yang dinamakan, apakah sebutan itu pada jenis atau pada unsurnya. Manusia ناس atau رَجُل adalah nama untuk suatu jenis yang dinamakan manusia atau laki-laki, dan Ahmad أحْمد adalah nama untuk individu yang dinamakan Ahmad. Semua kata ini adalah Isim. Dalam pengertian yang paling sederhana merujuk padanan dalam bahasa Indonesia, maka Isim adalah nominal.
Sedangkan dalam istilah Nahwu, Isim adalah suatu kata yang menunjukkan makna sendiri dan tidak terikat dengan waktu. Dalam bahasa Arabnya disebut:
كلمة دلت علي معني في نفسها ولم تقترن بزمان
Maka, محمد = Muhammad (nama orang), نَهْر = sungai, تُفاحة = apel, عَصا = tongkat, حَجَر = batu, طَعام = makanan, أَكْل = hal memakan (pengungkapan terhadap sebutan kerja makan), رَأْس = kepala, رِجْل = kaki, يَد = tangan, dan فَم = mulut, semuanya adalah Isim; mengandung makna sendiri dan tidak terikat dengan waktu.
Bagaimana kita bisa mengetahui suatu kata dalam bahasa Arab itu adalah Isim? Sedangkan kita selagi pertama kali belajar Nahwu tidak mengetahui makna kata tersebut dan tidak juga mengetahui apakah suatu kata mengandung makna yang terikat dengan waktu atau tidak. Caranya adalah dengan mengetahui tanda-tanda Isim pada suatu kata yang membedakannya dari dua jenis kata lainnya. Setiap kata yang mengandung atau bisa menerima salah satu dari tanda-tanda tersebut, maka kata tersebut adalah Isim.

Tanda-Tanda Isim

Ada beberapa tanda yang terletak pada suatu kata yang menunjukkan bahwa jenis kata tersebut adalah Isim. Tanda-tanda Isim yang paling utama adalah:
  1. Tanwin التنوين yaitu bunyi nun sukun pada akhir kalimat yang ditandai dengan harakat double ــًـ ــٍـ ــٌـ. Contohnya, قام رَجُلٌ = seorang laki-laki berdiri, رأيْتُ رَجُلاً = aku melihat seorang laki-laki, مرَرْتُ بِرَجُلٍ = aku melewati seorang laki-laki. Maka kata رَجُل dalam semua contoh ini adalah Isim. Sedangkan perubahan pada akhir katanya akan kita pelajari nanti pada bagian I’rab الإعراب.
  2. Alif dan Lam, dan biasa disingkat dengan AL أل pada awal kata. Setiap kata yang didahului oleh AL atau boleh menerima AL, maka kata tersebut adalah Isim. Contohnya, الرَجُل = laki-laki, المدرسة = sekolahan,الكِتاب = buku, الطالب = siswa. Semua kata ini adalah Isim ditandai dengan adanya AL di awal kata.
  3. Khafadh atau Jarrالخفض. Ini adalah status suatu kata dalam struktur kalimat. Penjelasan lebih jauh tentang status kata dan tanda-tandanya yang sesuai dengan bentuk dari setiap kata akan diterangkan dalam bab I’rab. Secara sederhana, suatu kata berstatus Khafadh adalah masuknya huruf Khafadh sebelum kata dan mempengaruhi kata tersebut. Contohnya, سافرْتُ الي القاهرة = saya berangkat ke Cairo, رأيتُ في منام = saya bermimpi. Kata القاهرة dan منام adalah Isim karena statusnya Khafadh yang ditandai dengan masuknya huruf Jarr sebelumnya. Dan pada kata yang pertama, juga ditandai dengan AL pada awal kata.
Huruf-huruf Jarr adalah مِن = dari (permulaan), إلي = ke, kepada, عَن = dari (lepas, meninggalkan), علي = atas, في = di, di dalam, رُبَّ = barangkali, kadang-kadang [;sedikit atau banyak], الباء = dengan, الكاف = seperti [penyerupaan], اللام = untuk. Dan termasuk juga huruf-huruf sumpah حروف القسم, yaitu; الواو hanya untuk Isim Zhahir,[2] الباء untuk Isim Zhahir dan Dhamir, dan التاء khusus dengan kata الله. Contohnya; واللهِ, بِاللهِِ, تَاللهِ, semuanya bermakna Demi Allah.

B. Fi’il الفِعل

Jenis kata yang kedua adalah Fi’il. Fi’il secara bahasa berarti kejadian atau pekerjaan. Dan padanannya dalam bahasa Indonesia adalah kata kerja atau verbal. Sedangkan dalam istilah Nahwu, Fi’il adalah kata yang menunjukkan suatu makna sendiri dan terikat dengan salah satu dari tiga bentuk waktu; masa lampau, masa sekarang, dan masa akan datang. Dalam bahasa Arabnya,
كلمة دلت علي معني في نفسها واقترنت باحد الأزمنة الثلاثة التي هي الماضي والحال والمستقبل
Contohnya كَتَبَ adalah kata yang menunjukkan makna penulisan dan terikat dengan masa yang telah lalu, يَكْتُبُ adalah kata yang memnunjukkan makna penulisan dan terikat dengan masa sekarang, dan أكتُبْ juga adalah kata yang menunjukkan makna penulisan dan terikat dengan masa yang akan datang. Demikian juga contoh-contoh lain seperti نَصَرَ ينصُر انصُر = menolong, عَلِم يعلَم اعْلَمْ = mengetahui, جلَس يجلِس اجلِسْ = duduk, ضرَب يضرِب اضرِبْ = memukul, فهِم يفهَم افهَم = mengerti, memahami.
Perubahan bentuk dari setiap kata-kata dalam Bahasa Arab merupakan pembahasan Ilmu Sharaf atau dalam istilah yang lebih luas; Morphologi. Sedangkan dalam Ilmu Nahwu, unsur utama yang diperhatikan adalah kedudukan kata tersebut dalam struktur kalimat. Meskipun setiap kata dasar dalam bahasa Arab banyak mempunyai varian bentuk kata sesuai dengan kegunaan dan maknanya masing-masing, yang paling penting dalam Ilmu Nahwu adalah jenis-jenis semua kata tersebut dikelompokkan dalam tiga jenis saja, yaitu; Isim, Fi’il, dan Huruf.
Demikian juga, pembagian fi’il dalam Ilmu Nahwu terbatas pada tiga macam saja, yaitu kata kerja yang menunjukkan kejadian di masa lalu, kata kerja masa sekarang, dan kata kerja perintah. Dengan demikian, jenis-jenis Fi’il adalah:
  1. Fi’il Madhi الفعل الماضي yaitu kata kerja yang menunjukkan suatu pekerjaan atau kejadian yang berlangsung pada masa sebelum waktu penuturan. Ketika seseorang berkata, كتب الطالب = siswa itu menulis, maka peristiwa penulisan dalam kata كتب yang dilakukan oleh siswa itu sudah berlangsung sebelum seseorang itu menuturkannya.
  2. Fi’il Mudhari’ الفعل المضارع yaitu kata kerja yang menunjukkan pekerjaan atau peristiwa yang terjadi pada saat dituturkan (sekarang) atau sesudahnya (akan datang). Misalnya seseorang berkata, يسمع الطالب = siswa itu mendengarkan. Siswa tersebut sedang melakukan pekerjaan mendengarkan saat kalimat tersebut diucapkan.
  3. Fi’il Amar فعل الأمر yaitu kata yang menunjukkan tuntutan tercapainya pekerjaan tersebut setelah masa pengungkapan. Contohnya, seorang ayah memerintahkan kepada anaknya untuk belajar, dia mengatakan اُدْرُسْ يا ولدي = Belajarlah, Anakku!

Tanda-Tanda Fi’il

Sebagaimana pada jenis Isim, jenis Fi’il juga tidak bisa kita ketahui sejak awal jika kita tidak belajar Ilmu Sharaf dan tidak mengetahui bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab. Namun ada beberapa tanda pada suatu kata yang bisa kita gunakan untuk mengenali bahwa suatu kata itu adalah Fi’il. Tanda-tanda Fi’il yang paling utama ketika berada dalam struktur kalimat adalah:
  1. Kata tersebut didahului oleh قَدْ.
Kata قَدْ ini bisa masuk ke Fi’il Madhi dan bisa masuk ke Fi’il Mudhari’. Apabila قَدْ masuk ke dalam Fi’il Madhi, maka menghasilkan salah satu dari dua makna, yaitu التحقيق dan التقريب.
Maksud التحقيق adalah menunjukkan kepastian. Jika seseorang berkata, قد جاء المدرس = Pengajar itu telah datang. Artinya Pengajar itu benar-benar sudah datang dan berada di tempat yang dimaksud.
Maksud التقريب adalah menunjukkan dekatnya suatu peristiwa yang terkandung dalam kata kerja itu. Jika seseorang berkata, قد جاء المدرس, dan maksudnya adalah التقريب maka artinya Pengajar itu hampir datang, misalnya sudah kelihatan melangkah masuk gerbang. Makna ini yang terdapat dalam lafazh Iqamah Shalat, قد قامت الصلاة yaitu Shalat sudah hampir dilaksanakan.
Begitu juga ketika seseorang berkata, قد غربت الشمس = Matahari itu terbenam. Apabila dia mengatakannya ketika Matahari itu bergerak menuju terbenam, maka makna yang dimaksud adalah التقريب. Dan jika dia mengatakannya pada saat Matahari sudah benar-benar terbenam, maka maknanya adalah التحقيق.
Apabila kata قد ini masuk ke Fi’il Mudhari’, maka juga menghasilkan salah satu dari dua makna, yaitu التقليل dan التكثير.
Maksud التقليل adalah menunjukkan makna sedikit atau jarang. Contohnya, قد يصدق الكذوب = Jarang orang pendusta itu berlaku jujur.
Maksud التكثير adalah menunjukkan makna banyak atau sering. Contohnya, kamu mengatakan قد ينجح المجتهد = (Kebanyakan) Orang yang bersungguh-sungguh itu berhasil.
Poin kita di sini adalah semua kata yang didahului oleh kata قد tersebut adalah Fi’il.
  1. Tanda Fi’il yang kedua adalah suatu kata itu didahului Huruf سين atau Huruf سَوْفَ.
Kedua Huruf ini hanya masuk ke Fi’il Mudhari’ saja dan mengubah kandungan waktu pada Fi’il Mudhari’ dari masa sekarang menjadi masa akan datang. Perbedaannya, Huruf سين menunjukkan jarak waktu akan datang yang lebih dekat daripada jarak waktu yang dikandung Huruf سوف.
Contohnya, saya mengatakan سَأكْتُبُ الكتابَ = Saya akan menulis buku, dan سوف أكتب الكتاب = Saya akan menulis buku. Rentang waktu pada kalimat pertama lebih dekat dengan masa pengucapan daripada rentang waktu pada kalimat kedua.
  1. Tanda Fi’il ketiga adalah Ta Ta’nis Sakinah تاء التأنيث الساكنة yaitu huruf Ta sukun yang masuk pada akhir kata. Tanda ini hanya untuk Fi’il Madhi saja dan fungsinya adalah untuk menunjukkan bahwa Isim yang terpaut dengan Predikat ini berbentuk feminin (muannas). Contohnya, نامتْ زينب = Zainab telah tidur.
Dan yang dimaksud dengan sukun bahwa huruf Ta ini pada aslinya sukun. Karena itu, harakat yang diberikan disebabkan pertemuan dua huruf mati tidak berpengaruh pada keasliannya yang sukun. Contohnya, قالتِ الْمدرِّسة = Ibuguru berkata. Huruf Ta pada contoh ini berharakat kasrah (baris bawah) karena bertemu dengan alif AL yang sukun, statusnya tetap sebagai Ta Ta’nis Sakinah. Dan huruf itu pada kata tersebut adalah tanda bahwa kata tersebut adalah Fi’il.
  1. Tanda Fi’il keempat adalah suatu kata yang menunjukkan makna tuntutan dan kata tersebut bisa menerima Ya Mukhathabah atau Nun Taukid.
Tanda ini akan lebih diketahui dengan memperlajari Ilmu Sharaf; terdapat bentuk khusus dari Fi’il yang menunjukkan makna tuntutan yaitu Fi’il Amar. Dalam struktur kata dari segi Nahwu, kata ini bisa dilihat dari tandanya yaitu bisa menerima Ya Mukhathabah dan Nun Taukid. Maka, apabila suatu kata dimasuki oleh Ya atau Nun tersebut, maka kata itu adalah Fi’il.
Ya Mukhathabah adalah huruf Ya sukun di akhir kalimat sebagai kata ganti orang kedua perempuan; yang berfungsi untuk menunjukkan bahwa tuntutan ditujukan kepada perempuan. Contohnya, قُوْمي = (Kamu perempuan), Bangunlah!, dari asal katanya untuk laki-laki قُمْ, dan اُكْتُبي = (Kamu perempuan), Menulislah!, dari asal kata perintahnya untuk laki-laki اكتب. Kedua kata aslinya yang untuk laki-laki adalah Fi’il karena menunjukkan tuntutan dan bisa menerima Ya Mukhathabah. Dan dua kata yang untuk perempuan adalah Fi’il dengan ditandai dengan masuknya Ya Mukhathabah dan menunjukkan makna tuntutan.
Sedangkan Nun Taukid adalah huruf Nun pada akhir kata yang berfungsi untuk menunjukkan kesungguhan dan ketegasan tuntutan. Nun Taukid ada dua macam yaitu Khafifah (ringan) dan Tsaqilah (berat). Perbedaan keduanya dari segi bentuk adalah Nun Taukid Khafifah berbaris sukun ـنْ, sedangkan Nun Taukid Tsaqilah bertasydid dan berharakat fathahـنَّ.
Perbedaan keduanya dari segi makna adalah kata kerja dengan Nun Taukid Khafifah mengandung ketegasan yang kurang keras daripada ketegasan yang dikandung Nun Taukid Tsaqilah. Atau dalam bahasa gaulnya; kata kerja biasa berarti menuntut, dengan Nun Taukid Khafifah berarti maksa, dan dengan Nun Taukid Tsaqilah berarti maksa banget. Contohnya kita ambil dari dua kata di atas, قومَنْ، قومنَّ dan اُكْتُبَنْ، اُكْتُبَنَّ.

C. Huruf الحرف

Huruf adalah jenis kata yang berfungsi sebagai kata bantu, yaitu kata yang mengandung makna yang tidak berdiri sendiri. Maknanya hanya bisa diketahui dengan bersandingan dengan kata lain, baik Isim atau Fi’il. Definisinya dalam bahasa Arab adalah:
كلمة دَلَّتْ علي مَعْنًي في غيرها
Tanda Huruf adalah tidak menerima tanda-tanda Isim atau tanda-tanda Fi’il, atau dengan ungkapan lain, Huruf adalah tanpa tanda pengenal. Kalau kita mengenal Jim dengan titik di bawah dan Kha dengan titik di atas, kita mengenal Ha tanpa titik. Demikian juga, kita mengenal jenis kata Isim dan Fi’il dengan tanda-tanda yang telah disebutkan di atas, maka kita mengenal jenis kata Huruf tanpa tanda dan tidak menerima tanda-tanda Isim atau Fi’il.
Kata yang termasuk dalam jenis Huruf ini terbagi bermacam-macam sesuai dengan fungsinya yang mempengaruhi status kata yang dimasukinya, sesuai dengan fungsi maknanya,
  1. Harap diperhatikan penggunaan istilah Huruf ini; berbeda dengan Huruf dalam makna bahasa yang berarti suatu huruf yang menjadi unsur kata. Sebenarnya Huruf ini adalah bentuk plural, dan yang benar adalah Harf. Namun saya gunakan untuk memudahkan ingatan dan penyesuain dengan bahasa Indonesia. Huruf dalam istilah Nahwu ini bisa dilihat penjelasannya.
  2. bukan Isim Dhamir yaitu kata ganti
  3. Harap diingat bahwa yang dimaksud di sini bukan huruf Hija’iyah.
2.2.2 Pengertian Ilmu Sharaf
Sharaf  adalah salah  satu  nama disiplin ilmu dalam Bahasa Arab yang  khusus membahas tentang perubahan bentuk kata atau kalimat dalam bahasa Arab. Perubahan bentuk kata ini dalam  prakteknya disebut Tashrif. Oleh karena itu dinamakan Ilmu Sharaf (perubahan; berubah), karena Ilmu ini khusus mengenai pembahasan tashrif (pengubahan; mengubah). Dalam mempelajari Bahasa Arab, ilmu Sharaf merupakan salah satu syarat yang harus dikuasai oleh setiap pelajar, sebab menurut sebagian Ulama :

‘’ Assharfu ummul ‘uluumi wannahwuu abuuhaa ‘’.

Artinya : “ ilmu sharaf adalah induk segala ilmu dan ilmu nahwu bapaknya”.


Ilmu sharaf disebut induk segala ilmu, sebab ilmu sharaf itu melahirkan bentuk setiap kalimat, sedangkan  kalimat itu menunjukkan bermacam- macam ilmu . kalau tidak ada kalimat atau lafadz, tentu  tidak aka nada tulisan. Tanpa tulisan sukar mendapatkan ilmu.
Adapun ilmu nahwu disebut bapak ilmu, sebab ilmu nahwu itu untuk membereskan setiap kalimat dalam susunan I’rabnya, bentuknya, dan sebagainya. ( Moch Anwar, 1987: 1 )
 Menurut KH. Ahmad Warson Munawwir shorof sebagai cabang ilmu bahasa Arab mula-mula disusun dan dikembangkan oleh orang 'ajam (non Arab). Pengembangan ini dimaksudkan untuk memberi bekal bagi orang 'ajam bukan penutur asli (ghoiru nathiqin) agar dapat mempelajari dan kemudian mempelajari bahasa Arab. Bersama dengan nahwu dan ilmu-ilmu lainnya seperti Arudl, Balaghoh, dan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya, shorof terbukti mampu menjadi ilmu alat penguasa bahasa Arab, baik bagi orang-orang 'ajam , maupun bagi orang-orang Arab yang belum baik dalam bahasa Arab (a 'jam).

Definisi Sharaf dalam Kailani 1 yaitu

اِعْلَمْ، اَََنَّ التَّصْرِيْفَ فِي اللُّغَةِ: التَّغْيِيْرُ، وَفِي الصَّنَاعَةِ: تَحْوِيْلُ اْلأَصْلِ الْوَاحِدِ إِلَى أَمْثِلَةٍ مُخْتَلِفَةٍ لِمَعَانٍ مَقْصُوْدَةٍ لاَ تَحْصُلُ اِلاَّ بِهَا.

‘’Perlu diketahui, bahwa tashrif menurut lughat ( etimologi ) berarti mengubah, sedangkan menurut istilah adalah mengubah bentuk asal kepada bentuk- bentuk lain untuk mencapai arti yang dikehendaki yang hanya bisa tercapai dengan adanya perubahan’’.                                    ( Moch Anwar, 1987: 1 )
Keterangan :
Tashrif memiliki dua arti, yaitu arti lughah ( bahasa ) dan arti menurut istilah Ulama ahli sharaf. Setiap mengubah sesuatu dari bentuk asalnya, seperi mengubah bentuk rumah atau pakaian dan sebagainya, itu adalah tashrif menurut lughah. Adapun tashrif menurut istilah, yaitu mengubah dari bentuk asal ( pokok pertama ) kepada bentuk yang lain. Menurut ulama Bashrah, arti asal itu ialah masdar. Sedankan menurut ulama Kuffah, arti asal itu ialah fi’il madhi.Yang dimaksud dengan tashrif menurut istilah ialah mengubah dari fi’il madhi kepada fi’il mudhari’, masdar, isim, fa’il, isim maf’ul, fi’il nahi, isim makan, isim zaman, dan isim alat. ( Moch Anwar, 1987 : 1)
Contoh:
Asal kalimat adalah Masdar: ضَرْبٌ dibaca: Dharbun, bermakna: Pukulan.
Dirubah ke sampel Fi’il Madhi menjadi: ضَرَب dibaca: Dharaba, bermakna: Telah memukul.
Dirubah ke sampel Fi’il Mudhari’ menjadi: يَضْرِبُ dibaca: Yadhribu bermakna: Akan memukul.
Dirubah ke sampel Fi’il Amar menjadi:  اِضْرِبْ dibaca: Idhrib bermakna: Pukullah! Dan sebagainya.
Contoh tersebut di atas dikatakan Tashrif, yaitu pengubahan asal bentuk yang satu kepada sampel-sampel bentuk yang lain untuk menghasilkan makna yang dimaksud.
Berikut ini adalah table perubahan shorof .

9
8
7
6
5
4
3
2
1
مِنْصَرٌ
مَنْصَرٌ
لا تَنْصُرْ
انُْصُرْ
مَنْصُوْرٌ
نَاصِرٌ
نَصْراً
يَنْصُرُ
نَصَرَ
Alat untuk menolong
Tempat/ waktu menolong
Jangan menolong
Tolonglah
Yang ditolong
Yang menolong
Pertolongan
Sedang /akan menolong
Sudah menolong
Keterangan
1 = Fi’il Madhi
2 = Fi’il Mudhori’
3 = Isim Mashdar
4 = Isim Fa’il
5 = Isim Maf’ul
6 = Fi’il Amr
7 = Fi’il Nahyi
8 = Isim Makan / Isim Zaman
9 = Isim Alat

Perlu diketahui bahwa bentuk perubahan kata dalam bahasa arab itu ada 35 bab. Setiap bab memiliki bentuk perubahan yang spesifik (khas). Dan dari 35 bab itu terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan jumlah huruf yang menyusun kata dasarnya. Jenis yang ada di hadapan pembaca ini disebut dengan Ats Tsulatsy Al Mujarrad (tersusun dari tiga kata saja) yang terdiri dari 6 bab.
Dalam ilmu sharaf, para ulama telah membagi tashrif kedalam dua bagian , yaitu tashrif lughowi dan tashrif istilahi.
Tashrif lughowi adalah sebuah bentuk tasrif fi’il tertentu dengan cara mengisnadkannya kepada dlamir baik mutakallaim, mukhatab atau ghaib. Dalam tasrif ini tidak terjadi perubahan sighat sebagaimana yang terjadi dalam tasrif istilahi.  
Tasrif lughowi biasanya ditulis memanjang dari atas ke bawah dimulai dari penggabungan dlamir mufrad mudzakkar ghaib (
هو ) pada fi’il yang sedang ditasrif dan diakhiri dengan penggabungan dlamir mutakallim ma’a al-ghairi (نحن ).         
Secara umum tidak terdapat perbedaan karakter antara fi’il mujarrad dengan fi’il mazid dalam tasrif lughowi, sehingga pengajaran tasrif lughowi tidak berangkat dari konsep mujarrad dan mazid, sebagaimana yang terjadi dalam pengajaran tasrif istilahi. Pintu masuk pengajaran tasrif lughowi harus melalui konsep bina’ yang realitasnya antara bina’ yang satu dengan bina’ yang lain terjadi perbedaan hukum ketika diisnadkan kepada dlamir-dlamir tertentu. Perbedaan hukum inilah yang harus diperhatikan dan ditekankan dalam pengajaran tasrif lughowi kepada peserta didik . 
      Tasrif istilahi adalah perubahan bentuk kalimat dari al-ashlu al-wahid menjadi al-amtsilah al-muhktalifah karena tujuan arti yang dikehendaki. Bentuk penulisan tashrif ini menyamping, dimulai dari penulisan bentuk madli dan diakhiri dengan penulisan bentuk isim alat. Dari tashrif ini, peserta didik akan mengenal berbagai sighat yang tedapat di dalam bahasa arab.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengajaran tashrif istilahi untuk memberikan kemudahan kepada peserta didik, diantaranya adalah stressing hafalan, konsep tentang wazan dan latihan .
Berikut ini adalah contoh skema dari tafsir istilahi
      Kemampun mentasrif fi’il baik secara istilahi maupun lughawi harus dianggap sebagai tujuan pembelajaran ilmu sharaf yang harus mendapatkan prioritas, karena dengan kemampuan ini seorang peserta didik akan mampu mengembalikan al-amtsilah al-mukhtalifah kepada al-ashlu al-wahidnya, atau sebaliknya; akan mampu membuka kamus dan akan mampu memahami dengan baik karakter masing-masing bina’ yang antara yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan yang cukup mendasar.        
Sebenarnya peran dan fungsi ilmu sharaf secara umum adalah membantu peserta didik dalam menentukan masing-masing sighat (jenis kata) dari kalimat-kalimat yang merangkai sebuah teks bahasa arab. Apakah kalimat yang sedang dihadapi termasuk dalam kategori fi’il madli, fi’il mudlari’, fi’il amar, masdar, isim fa’il, isim maf’ul, isim zaman atau isim makan. Masing-masing sighat tersebut harus mampu dipahami dengan baik oleh peserta didik, karena secara langsung memiliki korelasi dengan arti sebuah kalimat. Ketidak mampuan peserta didik dalam memahami dan menentukan sighat akan berdampak pada kemampuan peserta didik dalam menganalisa dan memahami sebuah teks.           
Pemahaman tentang fawaid al-ma’na dari wazan-wazan yang ada juga harus dipandang sebagai tujuan pembelajaran ilmu sharaf, karena banyaknya wazan yang ada, baik dari fi’il mujarrad, maupun dari fi’il mazid bukan untuk memberikan variasi bacaan, akan tetapi untuk tujuan faidah arti.       
Perbedaan yang paling mendasar antara shorof dan nahwu yaitu apabila shorof lebih sering diaplikasikan untuk membaca kitab gundul, sedangkan nahwu untuk mengetahui makna dari kitab tersebut. Sehingga antara nahwu dan shorof tidak boleh dipisahkan.



2 komentar: